Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

Puisi Serenada Emas Berkilau

Dari pandangan matamu kulihat jemarimu yang lentik Langit tidak dapat berdusta, Atau gumpalan awan yang berarakan kea rah utara Ketika matamu berkedip perlahan Cahaya-cahaya itu menembus mimpiku Dari bingkai jendela kulihat senyum padam Melewati lorong-lorong gelapku Kulihat sungai yang airnya jernih Mengalir dan terus mengalir Anganku tersadar ketika langit mulai menjingga Sorotan halus mengusap mataku Sementara tatapan matamu masih di retina Berkedip dan terpejam sesaat, semuanya padam Langit bosan dengan warna, merombaknya Bintang gemintang tersirat di gelapnya malam Malam padam, abu-abu terlukis perlahan Goresan wajah yang kurindu terbentang Menyambung titik bintang Menggambarkan betapa rindunya kasih Setengah malam terasa sesak Bayang-bayang tepat di depan mata Tersenyum buram dan pergi Ketika kukedipkan, bayanganmu hilang Menghadiri keosongan dimensi tertutup Ketika mata kembali lagi kubuka Kutatap buntang yang mmbanjiri glapny...

Puisi Tatkala Kemarin Lusa

Ketika malam mulai berkemas, hari siap dimulai, aku terbangun dari tidur yang kurasa bukan tidur. Tubuhku penuh peluh, pucat pasi. Bekas air terpancar dari rambutku semalam; seorang bersayap bulu-bulu bermahkota mengusap rambutku perlahan; teramat pelan. Aku tertahan dalam gerak, mulutku terkunci mataku terjaga. Tangannya menyetuh daun telingaku dengan lembut; perlahan mulutnya mendekat ke telingaku. Perlahan berbisik, “ Untukmu yang tertidur dibawah rembulan sempurna. Izinkanku melakukannya.” Sesosok itu mengeluarkan cawan dari tangan kanannya; tangan kirinya perlahan memancurkan air. Ditampunglah air itu dalam cawan. Mataku terpejam; semuanya gelap. Aku merasakan air menyiram tubuhku teramat deras. Kuterhanyut dalam sungai yang airnya dingin menggeretak tulang dan tak kutahui muaranya. Sinar mentari melewati bingkai jendela; kemudian bermuara di lensa mataku. Kuterduduk dalam ranjangku. Mencoba menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Teramat pelik untuk dimengerti. Aku mera...

Puisi Sketsa Rembulan Padam

Hari gelap Dimana setengah hari berubah menjadi hitam Warna-warna terang berubah menjadi remang dan gelap Rembulan, Rembulan datang menyinari ketika hari itu datang Mengganti warna-warna remang dan gelap menjadi terang Kesunyian, Kesunyia yang mencekap kerap kali menemani Berdiri dipojok-pojok sebuah hati, tak mau pergi “Aku tahu kamu hari ini akan datang Aku tahu hari ini juga dirimu akan datang Aku menantikan walau hanya sepatah kata Tetap menunggu dibawah harapan” Angin berhembus Berhembus diantara sebuah perasaan yang terikat oleh janji Mengikat kuat melukai perasan Padam, Bulan sempurna padam, tak ada yang menggantung Tinggal perasaanku yang digantungkan Pohon Digantung diantara pepohonan nan tinggi menjulang Terikat oleh suata zat yang tidak diketahui bentuknya

Sajak dari Indragiri

Setiap tatapan mata memandang Asap putih tinggi menjulang menyentuh angkasa Laksana pilar-pilar kokoh tegak berdiri tak berujung Banyak. Teramat banyak untuk dihitung Burung-burung terbang melayang tanpa arah Tanpa tujuan, mencari hidup yang masih kelam Saat itu juga, Suara bising menabuh gendang telinga yang tenang, senyap, suci, sunyi Mengajaknya untuk pergi dan meninggalkannya Pergi. Menyalami matahari yang bertahta di singgahsana Tak ada bocah  yang yang terlelap dalam buaian gesekan biola di keja Siang semakin menjadi. Memanggang daun-daun yang sesak akan asap Tak jauh dari daun yang sesak akan asap, kampung berdiri dikelilingi pagar nan kokoh Hijau larut dalam kesepian, hingga terlalu abai kapten menaruh perhatian Datang hari dimana penanda siang sendirian bertahta dalam watu yang lama Terapung di lautan biru yang bercermin dirinya sendiri didalamnya Hingga cakrawala dirombak jingga – burungpun enggan pulang Tulang tulang daun meringis m...

Puisi Serenada Merah Padam

Dalam benak tak pernah sampai untuk berangan di gelapnya kenyataan. Menatap dan terus menatap. Menjaga dan terus menjaga. Hingga berita itu datang terlalu pagi. Tergaris jingga di ujung tatapan. Membisik memenuhi rongga pikiran yang sengaja mengingat perkataan kemarin lusa. Saat itu, jasatmu terayun perlahan. teramat pelan hingga berlinang air mata. Menarik lembaran lama dalam meja datar. Membuka sendiri dan masuk dalam ingatan. Tumbangnya matahari sore itu, langkah kaki yang membayang. Perasaan baru telah lahir di pertemuan pematang. Helaian rambut yang menutupi kening. "Ah, dunia hanya empat telapak kaki" Bayu menggerakan pita yang terikat di ujung kepala. Gita cinta menyerinai penuh nada. Burung pulang—warna langitpun berubah. Secarik kapas menemani rembulan yang menggapung di cakrawala. Udara sumilir membelai kening, dan terbawa suasana. "Wahai dewi malam yang penuh akan kepastian. Aku mohon dengarkan ceritaku ini. Bagaimana mungkin aku membohingi dirik...