Langsung ke konten utama

Puisi Serenada Merah Padam

Dalam benak tak pernah sampai untuk berangan di gelapnya kenyataan. Menatap dan terus menatap. Menjaga dan terus menjaga. Hingga berita itu datang terlalu pagi. Tergaris jingga di ujung tatapan. Membisik memenuhi rongga pikiran yang sengaja mengingat perkataan kemarin lusa. Saat itu, jasatmu terayun perlahan. teramat pelan hingga berlinang air mata. Menarik lembaran lama dalam meja datar. Membuka sendiri dan masuk dalam ingatan. Tumbangnya matahari sore itu, langkah kaki yang membayang. Perasaan baru telah lahir di pertemuan pematang. Helaian rambut yang menutupi kening. "Ah, dunia hanya empat telapak kaki" Bayu menggerakan pita yang terikat di ujung kepala. Gita cinta menyerinai penuh nada.

Burung pulang—warna langitpun berubah. Secarik kapas menemani rembulan yang menggapung di cakrawala. Udara sumilir membelai kening, dan terbawa suasana. "Wahai dewi malam yang penuh akan kepastian. Aku mohon dengarkan ceritaku ini. Bagaimana mungkin aku membohingi diriku sendiri? Bukankah sebuah perasaan tidak dapat disalahkan?" Angin malam kembali berhembus. "Tidak mungkin juga diri ini mengutarakan. Aku hanya perempuan biasa" Rembulan tersenyum terkesima. Agak berseri meski abu abu. Selang beberapa menit ruangan dipenuhi dengan wajahmu. Suara-suara di pematang, dan aku masuk kedalam alunan biola yang digesek pelan. Teramat pelan hingga diri menyadari itu bukanlah suara biola. Kutersadar dalam bayangan. "Apakah ini namanya ketidak pastian?," tanyaku lirih. "Yang mengganggu disetiap mata tak berkedip."

Malam pergi, pagipun menjemput. Cahaya lembut menembus bilah bambu—teramat lurus. Sepotong asa masih tertingga di pucuk daun nan basah. Tetimang pelan menunggu jatuh atau pergi ke angkasa. Yang sengajaku taruh di bagian inti. "Memang, alunan biola tadi malam bukalah rajutan mimpiku sekarang. Bahkan belum sempat terpikirkan." Cemara tua tinggi menjulang di beranda. Di sana sepasang kenari beradu suara. Mewarnai pikiran yang sedari tadi putih.

Dalam keja masih sukar mendamba. Kepastian akan dirinya masih dalam dekapan yang teramat pelik untuk digambarkan. Sengaja bermarkas dalam sudut hati. Menyimpan dan masih menyimpan. Menutup dan tetap menutupi. Menunggu siluet jingga membelakangi. Seperi kemaren lusa. Pagi rimbun akan gumpalan kapas nan lembut, semburat putih menembusnya. Gamang tak dapat lepas dari sudut. Masih menerka digugus bintang tak berkelip sekalipun. Tersadar. Teringat secarik kertas yang ditulis lalu dimasukan saku. "Oh, sisa suara yang kemaren,"

"Diriku terdiam dalam ruangan yang kosong—penuh dengan bayang. Menatap cahaya tipis yang menembus bilah bambu. Tambatan hati yang risau akan warna emas. Melayang ditengah sesaknya bayang. Berganti menatap bunga layu yang mekar di sudut diagonal. Masuk dan terbayang langit biru cerah semburat berbercak putih. Di bawah rindangnya pohon pohon belimbing. Kutatap wajahmu yang terlalu risau untuk digambarkan. Seolah warna gelap membendungnya. Gelas pecah membangunkan bunga yang layu. "Sore hari nanti mungkin akanku utarakan" Darah di tangan kaca di tanah. Mentari berdiam cukup lama dalam lautan membiru sebelum warna kusam datang membawa pasukan. Tak berapa lama kemudian, turunlah air membasahi daun cemara beranda depan. Perasaan gamang menyelimuti disetiap rintiknya. "Apabila diri-Mu tidak menyetujui, jangan butakan aku dalam kegelapan."
Sinar surya mendali berlalu. Benar, aku pulang hari ini. Pulang membawa luka. Pulang diantara kerlipan mata. Pulang segalanya

"Andai kau mengerti apakah itu pengorbanan. Mengerti betapa sakitnya melihatmu dalam kegundahan. Melihatmu menahan perasaan. Waktu tak mungkin menjawab pertanyaan yang tidak disebutkan dalam secarik kata. Waktu hanya membuat semakin sakit dan sakit." Diriku menatapmu dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tarian cahaya malam meliuk di lipatan awan. Berwarna coklat legam. Membias diantara dada yang kosong. Menyeruak dan lenyap.
Sudah saatnya aku kembali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Tugas Bahasa Jawa "Upacara Adat Nyadran"

TUGAS BASA JAWA UPACARA ADAT NYADRAN Dipun Susun Dening: Wildan Wing Wirawan (02) Fauzar Restu Ginanjar (07) Nurina Oktavianti (23) Retno Hastuti (24) Kelas XII MIPA 4 SMA NEGERI 2 WATES BAB I A.     Dhasaring Panaliten Kebudayaan inggih menika elemen ingkang mboten saged kalepas saking kahuripan manungsa. Wonten satunggal sisi, manungsa nyiptaaken budaya, ananging wonten sisi lain, manungsa prosduk saka budaya kang urip. Sesambetan pengaruh menika butki manungsa moten saged urip tanpa budaya. Kahuripan budaya inggih menika titikan manungsa lan badhe kalampahan dening manungsa. Wonten ing Indonesia kathah ragam kebudayaan. Salah satunggaling inggih menika upacara nyadran. Upacara nyadran yaiku pesta rakyat sing awujud bentuk rasa syukure masyarakat marang Gusti Allah amarga bumi iki bisa dadi sumbere urip. Acara manganan utawa nyadran lumrahe saben desa nduweni dina, tradisi lan panggonan sing beda-beda. Ana sing dirindak...

Puisi Sketsa Rembulan Padam

Hari gelap Dimana setengah hari berubah menjadi hitam Warna-warna terang berubah menjadi remang dan gelap Rembulan, Rembulan datang menyinari ketika hari itu datang Mengganti warna-warna remang dan gelap menjadi terang Kesunyian, Kesunyia yang mencekap kerap kali menemani Berdiri dipojok-pojok sebuah hati, tak mau pergi “Aku tahu kamu hari ini akan datang Aku tahu hari ini juga dirimu akan datang Aku menantikan walau hanya sepatah kata Tetap menunggu dibawah harapan” Angin berhembus Berhembus diantara sebuah perasaan yang terikat oleh janji Mengikat kuat melukai perasan Padam, Bulan sempurna padam, tak ada yang menggantung Tinggal perasaanku yang digantungkan Pohon Digantung diantara pepohonan nan tinggi menjulang Terikat oleh suata zat yang tidak diketahui bentuknya

Esay "Karena Sampah Sudah Menjadi Biasa"

“Apakah budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi teman hidup?” Itulah pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam benakku. Tepetnya hari ini (Selasa, 17 Juni 2014) sesudah aku mengaji di pondok pesantren di dekat rumahku. Sebut saja namanya Nisa dan Abdul (dia anak kyai). Aku melihat Nisa bermain bola di pelataran mushola. Dari kejauhan Abdul membawa makanan yang diberikan oleh ibunya. Saking gembiranya Abdul membawa plastik makanan itu dengan menaiki sepeda sambil berlenggak –lenggok mengelilingi Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren). Wusss.... dengan gaya ala Valentino Rossi. Nisa yang melihat Abdul membawa makanan itu jadi ingin memintanya. Lantas dia memanggil Abdul dengan suara yang tak karuan kerasnya, “Dul, aku minta jajananmu, Dul!” Seperti sudah mendapatkan sinyal dari kakaknya, Abdul mengayuh sepeda mendekati Nisa yang sedang bermain bola barunya di depanku. Bola itu diberikan dari salah satu Partai yang berkampanye sebelum pemilu tahun ini. Tetapi baru dibuka ...