Dalam benak tak pernah sampai untuk berangan di gelapnya kenyataan.
Menatap dan terus menatap. Menjaga dan terus menjaga. Hingga berita itu
datang terlalu pagi. Tergaris jingga di ujung tatapan. Membisik memenuhi
rongga pikiran yang sengaja mengingat perkataan kemarin lusa. Saat itu,
jasatmu terayun perlahan. teramat pelan hingga berlinang air mata. Menarik lembaran lama dalam meja datar. Membuka sendiri dan masuk dalam
ingatan. Tumbangnya matahari sore itu, langkah kaki yang membayang.
Perasaan baru telah lahir di pertemuan pematang. Helaian rambut yang
menutupi kening. "Ah, dunia hanya empat telapak kaki" Bayu menggerakan
pita yang terikat di ujung kepala. Gita cinta menyerinai penuh nada.
Burung pulang—warna langitpun berubah. Secarik kapas menemani rembulan yang menggapung di cakrawala. Udara sumilir membelai kening, dan terbawa suasana. "Wahai dewi malam yang penuh akan kepastian. Aku mohon dengarkan ceritaku ini. Bagaimana mungkin aku membohingi diriku sendiri? Bukankah sebuah perasaan tidak dapat disalahkan?" Angin malam kembali berhembus. "Tidak mungkin juga diri ini mengutarakan. Aku hanya perempuan biasa" Rembulan tersenyum terkesima. Agak berseri meski abu abu. Selang beberapa menit ruangan dipenuhi dengan wajahmu. Suara-suara di pematang, dan aku masuk kedalam alunan biola yang digesek pelan. Teramat pelan hingga diri menyadari itu bukanlah suara biola. Kutersadar dalam bayangan. "Apakah ini namanya ketidak pastian?," tanyaku lirih. "Yang mengganggu disetiap mata tak berkedip."
Malam pergi, pagipun menjemput. Cahaya lembut menembus bilah bambu—teramat lurus. Sepotong asa masih tertingga di pucuk daun nan basah. Tetimang pelan menunggu jatuh atau pergi ke angkasa. Yang sengajaku taruh di bagian inti. "Memang, alunan biola tadi malam bukalah rajutan mimpiku sekarang. Bahkan belum sempat terpikirkan." Cemara tua tinggi menjulang di beranda. Di sana sepasang kenari beradu suara. Mewarnai pikiran yang sedari tadi putih.
Dalam keja masih sukar mendamba. Kepastian akan dirinya masih dalam dekapan yang teramat pelik untuk digambarkan. Sengaja bermarkas dalam sudut hati. Menyimpan dan masih menyimpan. Menutup dan tetap menutupi. Menunggu siluet jingga membelakangi. Seperi kemaren lusa. Pagi rimbun akan gumpalan kapas nan lembut, semburat putih menembusnya. Gamang tak dapat lepas dari sudut. Masih menerka digugus bintang tak berkelip sekalipun. Tersadar. Teringat secarik kertas yang ditulis lalu dimasukan saku. "Oh, sisa suara yang kemaren,"
"Diriku terdiam dalam ruangan yang kosong—penuh dengan bayang. Menatap cahaya tipis yang menembus bilah bambu. Tambatan hati yang risau akan warna emas. Melayang ditengah sesaknya bayang. Berganti menatap bunga layu yang mekar di sudut diagonal. Masuk dan terbayang langit biru cerah semburat berbercak putih. Di bawah rindangnya pohon pohon belimbing. Kutatap wajahmu yang terlalu risau untuk digambarkan. Seolah warna gelap membendungnya. Gelas pecah membangunkan bunga yang layu. "Sore hari nanti mungkin akanku utarakan" Darah di tangan kaca di tanah. Mentari berdiam cukup lama dalam lautan membiru sebelum warna kusam datang membawa pasukan. Tak berapa lama kemudian, turunlah air membasahi daun cemara beranda depan. Perasaan gamang menyelimuti disetiap rintiknya. "Apabila diri-Mu tidak menyetujui, jangan butakan aku dalam kegelapan."
Sinar surya mendali berlalu. Benar, aku pulang hari ini. Pulang membawa luka. Pulang diantara kerlipan mata. Pulang segalanya
"Andai kau mengerti apakah itu pengorbanan. Mengerti betapa sakitnya melihatmu dalam kegundahan. Melihatmu menahan perasaan. Waktu tak mungkin menjawab pertanyaan yang tidak disebutkan dalam secarik kata. Waktu hanya membuat semakin sakit dan sakit." Diriku menatapmu dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tarian cahaya malam meliuk di lipatan awan. Berwarna coklat legam. Membias diantara dada yang kosong. Menyeruak dan lenyap.
Burung pulang—warna langitpun berubah. Secarik kapas menemani rembulan yang menggapung di cakrawala. Udara sumilir membelai kening, dan terbawa suasana. "Wahai dewi malam yang penuh akan kepastian. Aku mohon dengarkan ceritaku ini. Bagaimana mungkin aku membohingi diriku sendiri? Bukankah sebuah perasaan tidak dapat disalahkan?" Angin malam kembali berhembus. "Tidak mungkin juga diri ini mengutarakan. Aku hanya perempuan biasa" Rembulan tersenyum terkesima. Agak berseri meski abu abu. Selang beberapa menit ruangan dipenuhi dengan wajahmu. Suara-suara di pematang, dan aku masuk kedalam alunan biola yang digesek pelan. Teramat pelan hingga diri menyadari itu bukanlah suara biola. Kutersadar dalam bayangan. "Apakah ini namanya ketidak pastian?," tanyaku lirih. "Yang mengganggu disetiap mata tak berkedip."
Malam pergi, pagipun menjemput. Cahaya lembut menembus bilah bambu—teramat lurus. Sepotong asa masih tertingga di pucuk daun nan basah. Tetimang pelan menunggu jatuh atau pergi ke angkasa. Yang sengajaku taruh di bagian inti. "Memang, alunan biola tadi malam bukalah rajutan mimpiku sekarang. Bahkan belum sempat terpikirkan." Cemara tua tinggi menjulang di beranda. Di sana sepasang kenari beradu suara. Mewarnai pikiran yang sedari tadi putih.
Dalam keja masih sukar mendamba. Kepastian akan dirinya masih dalam dekapan yang teramat pelik untuk digambarkan. Sengaja bermarkas dalam sudut hati. Menyimpan dan masih menyimpan. Menutup dan tetap menutupi. Menunggu siluet jingga membelakangi. Seperi kemaren lusa. Pagi rimbun akan gumpalan kapas nan lembut, semburat putih menembusnya. Gamang tak dapat lepas dari sudut. Masih menerka digugus bintang tak berkelip sekalipun. Tersadar. Teringat secarik kertas yang ditulis lalu dimasukan saku. "Oh, sisa suara yang kemaren,"
"Diriku terdiam dalam ruangan yang kosong—penuh dengan bayang. Menatap cahaya tipis yang menembus bilah bambu. Tambatan hati yang risau akan warna emas. Melayang ditengah sesaknya bayang. Berganti menatap bunga layu yang mekar di sudut diagonal. Masuk dan terbayang langit biru cerah semburat berbercak putih. Di bawah rindangnya pohon pohon belimbing. Kutatap wajahmu yang terlalu risau untuk digambarkan. Seolah warna gelap membendungnya. Gelas pecah membangunkan bunga yang layu. "Sore hari nanti mungkin akanku utarakan" Darah di tangan kaca di tanah. Mentari berdiam cukup lama dalam lautan membiru sebelum warna kusam datang membawa pasukan. Tak berapa lama kemudian, turunlah air membasahi daun cemara beranda depan. Perasaan gamang menyelimuti disetiap rintiknya. "Apabila diri-Mu tidak menyetujui, jangan butakan aku dalam kegelapan."
Sinar surya mendali berlalu. Benar, aku pulang hari ini. Pulang membawa luka. Pulang diantara kerlipan mata. Pulang segalanya
"Andai kau mengerti apakah itu pengorbanan. Mengerti betapa sakitnya melihatmu dalam kegundahan. Melihatmu menahan perasaan. Waktu tak mungkin menjawab pertanyaan yang tidak disebutkan dalam secarik kata. Waktu hanya membuat semakin sakit dan sakit." Diriku menatapmu dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tarian cahaya malam meliuk di lipatan awan. Berwarna coklat legam. Membias diantara dada yang kosong. Menyeruak dan lenyap.
Sudah saatnya aku kembali
Komentar