Langsung ke konten utama

Puisi Serenada Emas Berkilau


Dari pandangan matamu kulihat jemarimu yang lentik
Langit tidak dapat berdusta,
Atau gumpalan awan yang berarakan kea rah utara
Ketika matamu berkedip perlahan
Cahaya-cahaya itu menembus mimpiku
Dari bingkai jendela kulihat senyum padam
Melewati lorong-lorong gelapku
Kulihat sungai yang airnya jernih
Mengalir dan terus mengalir
Anganku tersadar ketika langit mulai menjingga
Sorotan halus mengusap mataku
Sementara tatapan matamu masih di retina
Berkedip dan terpejam sesaat, semuanya padam
Langit bosan dengan warna, merombaknya
Bintang gemintang tersirat di gelapnya malam
Malam padam, abu-abu terlukis perlahan
Goresan wajah yang kurindu terbentang
Menyambung titik bintang
Menggambarkan betapa rindunya kasih
Setengah malam terasa sesak
Bayang-bayang tepat di depan mata
Tersenyum buram dan pergi
Ketika kukedipkan, bayanganmu hilang
Menghadiri keosongan dimensi tertutup
Ketika mata kembali lagi kubuka
Kutatap buntang yang mmbanjiri glapnya malam
Gumpalan awan hitam tepat dibawah dewi malam
Gumpalan awan hitam tepat di bawah dewi malam
Terselip perasaan itu yang mengganggu tidur
Risau setitik menyebar di celah-celah gelap tak berbintang
Cakrawala tersenyum dan merapatkan malam
Gamang hadir di beranda hunian
Mengetuk pntu dengan perlahan
Sengaja tak kutanggapi, tak kuhiraukan
Tetapi tamu mana yang datang malam?
Mendatangi ketika ku bersama bayangmu
Mata itu mengintip dari celah kunci
Mengetuk kembali dengan keras
Dengan perasaan risau kuberjalan mendekati bingkai pintu
Semua berubah ketika senyummu menggaris di mataku
            “Oh, malam yang tak kurindu,
            Kenapa terungkap, kenapa terperangkap?”
Kasih yang menemani ketika mata sempurna terbuka
Juga ketika kubuka pintu yang terasa berat
Pintu terbuka teramat perlahan
Tak kutemui siapa dihadapanku
Ku menyentuh lembut udara yang melewati daun telingaku
Menyentuh dengan jari-jari yang kaku
Saat aku termenung dimuka pintu
Suara yang memanggilku datang kembali
Kuarahkan mataku menghadap langit
Kutemui bintang yang member salam selamat malam
            “Terimakasih kasihku....
            Terimakasih telah mempercayai aku”
Pintu pun tertutup dengan keras
Sempurna tak dapat kubuka kembali
Kuputuskan untuk berjalan ke lebih depan
Ketika mlam duduk dengan sempurna
Langit begitu cantik
Langit begitu bercahaya
Langit begitu,–
Sayap-sayap tumbuh disamping bahuku
Menerbangkanku menuju mimpimu
Kutersadar ketika tengah malam membangunkanku
            “Kau tidak bias lenyap dari gelapnya malam
            Kau hadir dan kau membuatku semakin merindu”
Saat sayap sayap itu sempurna menerbangkanku dalam mimpi
Aku melihatmu terduduk di bangku; pinggir kota yang sepi
Masih seperi kemarin, senyumu menghiasi wajahmu yang manis
Mata yang menatap sebuah kupu-kupu bersayap jingga
Juga hidungmu yang menjulang hadir di tengah pipi merahmu
Diriku terjatuh ketika sayapku mulai pupus
Malam termakan cakrawala,
            “Selamat pagi,”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Tugas Bahasa Jawa "Upacara Adat Nyadran"

TUGAS BASA JAWA UPACARA ADAT NYADRAN Dipun Susun Dening: Wildan Wing Wirawan (02) Fauzar Restu Ginanjar (07) Nurina Oktavianti (23) Retno Hastuti (24) Kelas XII MIPA 4 SMA NEGERI 2 WATES BAB I A.     Dhasaring Panaliten Kebudayaan inggih menika elemen ingkang mboten saged kalepas saking kahuripan manungsa. Wonten satunggal sisi, manungsa nyiptaaken budaya, ananging wonten sisi lain, manungsa prosduk saka budaya kang urip. Sesambetan pengaruh menika butki manungsa moten saged urip tanpa budaya. Kahuripan budaya inggih menika titikan manungsa lan badhe kalampahan dening manungsa. Wonten ing Indonesia kathah ragam kebudayaan. Salah satunggaling inggih menika upacara nyadran. Upacara nyadran yaiku pesta rakyat sing awujud bentuk rasa syukure masyarakat marang Gusti Allah amarga bumi iki bisa dadi sumbere urip. Acara manganan utawa nyadran lumrahe saben desa nduweni dina, tradisi lan panggonan sing beda-beda. Ana sing dirindak...

Puisi Sketsa Rembulan Padam

Hari gelap Dimana setengah hari berubah menjadi hitam Warna-warna terang berubah menjadi remang dan gelap Rembulan, Rembulan datang menyinari ketika hari itu datang Mengganti warna-warna remang dan gelap menjadi terang Kesunyian, Kesunyia yang mencekap kerap kali menemani Berdiri dipojok-pojok sebuah hati, tak mau pergi “Aku tahu kamu hari ini akan datang Aku tahu hari ini juga dirimu akan datang Aku menantikan walau hanya sepatah kata Tetap menunggu dibawah harapan” Angin berhembus Berhembus diantara sebuah perasaan yang terikat oleh janji Mengikat kuat melukai perasan Padam, Bulan sempurna padam, tak ada yang menggantung Tinggal perasaanku yang digantungkan Pohon Digantung diantara pepohonan nan tinggi menjulang Terikat oleh suata zat yang tidak diketahui bentuknya

Esay "Karena Sampah Sudah Menjadi Biasa"

“Apakah budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi teman hidup?” Itulah pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam benakku. Tepetnya hari ini (Selasa, 17 Juni 2014) sesudah aku mengaji di pondok pesantren di dekat rumahku. Sebut saja namanya Nisa dan Abdul (dia anak kyai). Aku melihat Nisa bermain bola di pelataran mushola. Dari kejauhan Abdul membawa makanan yang diberikan oleh ibunya. Saking gembiranya Abdul membawa plastik makanan itu dengan menaiki sepeda sambil berlenggak –lenggok mengelilingi Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren). Wusss.... dengan gaya ala Valentino Rossi. Nisa yang melihat Abdul membawa makanan itu jadi ingin memintanya. Lantas dia memanggil Abdul dengan suara yang tak karuan kerasnya, “Dul, aku minta jajananmu, Dul!” Seperti sudah mendapatkan sinyal dari kakaknya, Abdul mengayuh sepeda mendekati Nisa yang sedang bermain bola barunya di depanku. Bola itu diberikan dari salah satu Partai yang berkampanye sebelum pemilu tahun ini. Tetapi baru dibuka ...