Langsung ke konten utama

Sajak dari Indragiri



Setiap tatapan mata memandang
Asap putih tinggi menjulang menyentuh angkasa
Laksana pilar-pilar kokoh tegak berdiri tak berujung
Banyak. Teramat banyak untuk dihitung
Burung-burung terbang melayang tanpa arah
Tanpa tujuan, mencari hidup yang masih kelam
Saat itu juga,
Suara bising menabuh gendang telinga yang tenang, senyap, suci, sunyi
Mengajaknya untuk pergi dan meninggalkannya
Pergi. Menyalami matahari yang bertahta di singgahsana
Tak ada bocah  yang yang terlelap dalam buaian gesekan biola di keja
Siang semakin menjadi. Memanggang daun-daun yang sesak akan asap
Tak jauh dari daun yang sesak akan asap, kampung berdiri dikelilingi pagar nan kokoh
Hijau larut dalam kesepian, hingga terlalu abai kapten menaruh perhatian
Datang hari dimana penanda siang sendirian bertahta dalam watu yang lama
Terapung di lautan biru yang bercermin dirinya sendiri didalamnya
Hingga cakrawala dirombak jingga – burungpun enggan pulang
Tulang tulang daun meringis melepas pegangan
Batu pualam nyata legam. Air menghilang direbus . Pilar kokoh semakin kokoh. Mengajak berlari
Tanah basah, rumputpun tumbuh menghijau kembali
Kapas putih tebal tak henti-hentinya berlalu-lalang di setiap mata di taruh di atas
Kenyataan yang hadir tak sependapat dengan keadaan
Air datang terlalu cepat. Terlalu lama. Terlalu deras
Hingga suasana berubah menjadi kelam.
Lautan berpindah ke kampung, menggulung
Mengambil dan membawanya pergi meninggalkan kampung
Meninggalkan kolera takberkesudhan
“Jelas kami geram terhadap perilakumu, Wahai Yang Mulia!”
Seru pemuda datang dengan bekal yang sudah disiapkan di cermin kemarin lusa
Mengajak bala menanyakan sampai kapan penderitaan kami berakir?
Sampai kapan pohon-pohon itu tumbang?
Sampai kapan kekeringan dikala musim panas yang tak bekesudahan itu berakhir?
Sampai kapan air itu menenggelamkan kampung kami berakhir?
Sampai kapan penyakit penyakit itu akan berhenti?
Akankah semua ini menjadi kutukan yang tak akan pernah berakhir.
Malam itu juga. Rembulan menggantung penuh perhatian
Sebabagai saksi dendam kami terhadap emhkau, Yang Mulia
Kobaran dalam genggaman tangan berpindah dalam bilik kayu
“Perasaan mana yang tak geram melihat semua ini
Keadalian yang salah diartian
Itukah balasan kepada kami setelah tumbuh menjadi Yang Teramat Mulia?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Tugas Bahasa Jawa "Upacara Adat Nyadran"

TUGAS BASA JAWA UPACARA ADAT NYADRAN Dipun Susun Dening: Wildan Wing Wirawan (02) Fauzar Restu Ginanjar (07) Nurina Oktavianti (23) Retno Hastuti (24) Kelas XII MIPA 4 SMA NEGERI 2 WATES BAB I A.     Dhasaring Panaliten Kebudayaan inggih menika elemen ingkang mboten saged kalepas saking kahuripan manungsa. Wonten satunggal sisi, manungsa nyiptaaken budaya, ananging wonten sisi lain, manungsa prosduk saka budaya kang urip. Sesambetan pengaruh menika butki manungsa moten saged urip tanpa budaya. Kahuripan budaya inggih menika titikan manungsa lan badhe kalampahan dening manungsa. Wonten ing Indonesia kathah ragam kebudayaan. Salah satunggaling inggih menika upacara nyadran. Upacara nyadran yaiku pesta rakyat sing awujud bentuk rasa syukure masyarakat marang Gusti Allah amarga bumi iki bisa dadi sumbere urip. Acara manganan utawa nyadran lumrahe saben desa nduweni dina, tradisi lan panggonan sing beda-beda. Ana sing dirindak...

Puisi Sketsa Rembulan Padam

Hari gelap Dimana setengah hari berubah menjadi hitam Warna-warna terang berubah menjadi remang dan gelap Rembulan, Rembulan datang menyinari ketika hari itu datang Mengganti warna-warna remang dan gelap menjadi terang Kesunyian, Kesunyia yang mencekap kerap kali menemani Berdiri dipojok-pojok sebuah hati, tak mau pergi “Aku tahu kamu hari ini akan datang Aku tahu hari ini juga dirimu akan datang Aku menantikan walau hanya sepatah kata Tetap menunggu dibawah harapan” Angin berhembus Berhembus diantara sebuah perasaan yang terikat oleh janji Mengikat kuat melukai perasan Padam, Bulan sempurna padam, tak ada yang menggantung Tinggal perasaanku yang digantungkan Pohon Digantung diantara pepohonan nan tinggi menjulang Terikat oleh suata zat yang tidak diketahui bentuknya

Esay "Karena Sampah Sudah Menjadi Biasa"

“Apakah budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi teman hidup?” Itulah pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam benakku. Tepetnya hari ini (Selasa, 17 Juni 2014) sesudah aku mengaji di pondok pesantren di dekat rumahku. Sebut saja namanya Nisa dan Abdul (dia anak kyai). Aku melihat Nisa bermain bola di pelataran mushola. Dari kejauhan Abdul membawa makanan yang diberikan oleh ibunya. Saking gembiranya Abdul membawa plastik makanan itu dengan menaiki sepeda sambil berlenggak –lenggok mengelilingi Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren). Wusss.... dengan gaya ala Valentino Rossi. Nisa yang melihat Abdul membawa makanan itu jadi ingin memintanya. Lantas dia memanggil Abdul dengan suara yang tak karuan kerasnya, “Dul, aku minta jajananmu, Dul!” Seperti sudah mendapatkan sinyal dari kakaknya, Abdul mengayuh sepeda mendekati Nisa yang sedang bermain bola barunya di depanku. Bola itu diberikan dari salah satu Partai yang berkampanye sebelum pemilu tahun ini. Tetapi baru dibuka ...