Setiap tatapan mata memandang
Asap putih tinggi menjulang menyentuh
angkasa
Laksana pilar-pilar kokoh tegak berdiri
tak berujung
Banyak. Teramat banyak untuk dihitung
Burung-burung terbang melayang tanpa
arah
Tanpa tujuan, mencari hidup yang masih
kelam
Saat itu juga,
Suara bising menabuh gendang telinga
yang tenang, senyap, suci, sunyi
Mengajaknya untuk pergi dan
meninggalkannya
Pergi. Menyalami matahari yang bertahta di
singgahsana
Tak ada bocah yang yang terlelap dalam buaian gesekan biola
di keja
Siang semakin menjadi. Memanggang
daun-daun yang sesak akan asap
Tak jauh dari daun yang sesak akan asap,
kampung berdiri dikelilingi pagar nan kokoh
Hijau larut dalam kesepian, hingga
terlalu abai kapten menaruh perhatian
Datang hari dimana penanda siang
sendirian bertahta dalam watu yang lama
Terapung di lautan biru yang bercermin
dirinya sendiri didalamnya
Hingga cakrawala dirombak jingga –
burungpun enggan pulang
Tulang tulang daun meringis melepas
pegangan
Batu pualam nyata legam. Air menghilang
direbus . Pilar kokoh semakin kokoh. Mengajak berlari
Tanah basah, rumputpun tumbuh menghijau
kembali
Kapas putih tebal tak henti-hentinya
berlalu-lalang di setiap mata di taruh di atas
Kenyataan yang hadir tak sependapat
dengan keadaan
Air datang terlalu cepat. Terlalu lama.
Terlalu deras
Hingga suasana berubah menjadi kelam.
Lautan berpindah ke kampung, menggulung
Mengambil dan membawanya pergi
meninggalkan kampung
Meninggalkan kolera takberkesudhan
“Jelas kami geram terhadap perilakumu,
Wahai Yang Mulia!”
Seru pemuda datang dengan bekal yang
sudah disiapkan di cermin kemarin lusa
Mengajak bala menanyakan sampai kapan
penderitaan kami berakir?
Sampai kapan pohon-pohon itu tumbang?
Sampai kapan kekeringan dikala musim
panas yang tak bekesudahan itu berakhir?
Sampai kapan air itu menenggelamkan
kampung kami berakhir?
Sampai kapan penyakit penyakit itu akan
berhenti?
Akankah semua ini menjadi kutukan yang
tak akan pernah berakhir.
Malam itu juga. Rembulan menggantung
penuh perhatian
Sebabagai saksi dendam kami terhadap
emhkau, Yang Mulia
Kobaran dalam genggaman tangan berpindah
dalam bilik kayu
“Perasaan mana yang tak geram melihat
semua ini
Keadalian yang salah diartian
Itukah balasan kepada kami setelah
tumbuh menjadi Yang Teramat Mulia?”
Komentar