Langsung ke konten utama

Puisi Tatkala Kemarin Lusa




Ketika malam mulai berkemas, hari siap dimulai, aku terbangun dari tidur yang kurasa bukan tidur. Tubuhku penuh peluh, pucat pasi. Bekas air terpancar dari rambutku semalam; seorang bersayap bulu-bulu bermahkota mengusap rambutku perlahan; teramat pelan. Aku tertahan dalam gerak, mulutku terkunci mataku terjaga. Tangannya menyetuh daun telingaku dengan lembut; perlahan mulutnya mendekat ke telingaku. Perlahan berbisik, “ Untukmu yang tertidur dibawah rembulan sempurna. Izinkanku melakukannya.”
Sesosok itu mengeluarkan cawan dari tangan kanannya; tangan kirinya perlahan memancurkan air. Ditampunglah air itu dalam cawan. Mataku terpejam; semuanya gelap. Aku merasakan air menyiram tubuhku teramat deras. Kuterhanyut dalam sungai yang airnya dingin menggeretak tulang dan tak kutahui muaranya.
Sinar mentari melewati bingkai jendela; kemudian bermuara di lensa mataku. Kuterduduk dalam ranjangku. Mencoba menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Teramat pelik untuk dimengerti. Aku merasakannya.
“Buka kedua matamu, bukalah,” ucapnya berbisik di serambi telinaku. Sedikit demi sedikit mataku terbuka. Aku merasa asing dengan tempatku; tempatku berpijak saat ini. Kucium wangi yang belum bersahabat dengan hidungku; kuhirup dalam dalam aroma wangi tersebut. Sontak jiwaku  melayang menghampiri bintang di angkasa. Saat nafasku kuhembuskan aku sudah berada di tempat semula.
Aku mencari suara yang membisikku; tak kutemui seorangpun dalam pandangan mata. Kuarahkan mataku kedepan; kulihat mata air yang terpancar dari selang yang lumayan besar, bukan selang, namaun seperti selang, ah, aku tidak tahu. Sementara kananku sebatas mata memandang hanya kulihat pohon cemara yang menghijau menuju cakrawala; kiriku taman yang teramat bersih, tak ada seorangpun disana. Kupandangi badanku. Ada lilitan benang, bukan benang melainkan tali yang dipintal lembut, melilit badanku dengan erat.
Makhluk bersayap itu pun kembali hadir di bola mataku. Makin mendekat kearahku; mencium keningku. Tubuhku masih tidak bias bergerak, mulut pun masih kelu. “Duh manusia yang teramat sempurna.”
Lalu semuanya gelap gulita. Aku meraba badanku. Tak kutemukan tali yang mengikat badanku. Namun aku menyentuh anak panah yang tiga perempat tertancap di badanku; di hatiku. Masih gelap. Teramat gelap. Semuanya hitam. Dari telinga kananku terdengar bisikan ‘Kan telah terkena panah cintaku. Jagalah dia. Lindungilah dia. Sayangilah dia. Buatlah dia bahagia”
Sinar mentari melewati bingkai jendela; kemudian bermuara di lensa mataku. Kuterduduk dalam ranjangku. Mencoba menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Teramat pelik untuk dimengerti. Aku merasakannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Tugas Bahasa Jawa "Upacara Adat Nyadran"

TUGAS BASA JAWA UPACARA ADAT NYADRAN Dipun Susun Dening: Wildan Wing Wirawan (02) Fauzar Restu Ginanjar (07) Nurina Oktavianti (23) Retno Hastuti (24) Kelas XII MIPA 4 SMA NEGERI 2 WATES BAB I A.     Dhasaring Panaliten Kebudayaan inggih menika elemen ingkang mboten saged kalepas saking kahuripan manungsa. Wonten satunggal sisi, manungsa nyiptaaken budaya, ananging wonten sisi lain, manungsa prosduk saka budaya kang urip. Sesambetan pengaruh menika butki manungsa moten saged urip tanpa budaya. Kahuripan budaya inggih menika titikan manungsa lan badhe kalampahan dening manungsa. Wonten ing Indonesia kathah ragam kebudayaan. Salah satunggaling inggih menika upacara nyadran. Upacara nyadran yaiku pesta rakyat sing awujud bentuk rasa syukure masyarakat marang Gusti Allah amarga bumi iki bisa dadi sumbere urip. Acara manganan utawa nyadran lumrahe saben desa nduweni dina, tradisi lan panggonan sing beda-beda. Ana sing dirindak...

Puisi Sketsa Rembulan Padam

Hari gelap Dimana setengah hari berubah menjadi hitam Warna-warna terang berubah menjadi remang dan gelap Rembulan, Rembulan datang menyinari ketika hari itu datang Mengganti warna-warna remang dan gelap menjadi terang Kesunyian, Kesunyia yang mencekap kerap kali menemani Berdiri dipojok-pojok sebuah hati, tak mau pergi “Aku tahu kamu hari ini akan datang Aku tahu hari ini juga dirimu akan datang Aku menantikan walau hanya sepatah kata Tetap menunggu dibawah harapan” Angin berhembus Berhembus diantara sebuah perasaan yang terikat oleh janji Mengikat kuat melukai perasan Padam, Bulan sempurna padam, tak ada yang menggantung Tinggal perasaanku yang digantungkan Pohon Digantung diantara pepohonan nan tinggi menjulang Terikat oleh suata zat yang tidak diketahui bentuknya

Esay "Karena Sampah Sudah Menjadi Biasa"

“Apakah budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi teman hidup?” Itulah pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam benakku. Tepetnya hari ini (Selasa, 17 Juni 2014) sesudah aku mengaji di pondok pesantren di dekat rumahku. Sebut saja namanya Nisa dan Abdul (dia anak kyai). Aku melihat Nisa bermain bola di pelataran mushola. Dari kejauhan Abdul membawa makanan yang diberikan oleh ibunya. Saking gembiranya Abdul membawa plastik makanan itu dengan menaiki sepeda sambil berlenggak –lenggok mengelilingi Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren). Wusss.... dengan gaya ala Valentino Rossi. Nisa yang melihat Abdul membawa makanan itu jadi ingin memintanya. Lantas dia memanggil Abdul dengan suara yang tak karuan kerasnya, “Dul, aku minta jajananmu, Dul!” Seperti sudah mendapatkan sinyal dari kakaknya, Abdul mengayuh sepeda mendekati Nisa yang sedang bermain bola barunya di depanku. Bola itu diberikan dari salah satu Partai yang berkampanye sebelum pemilu tahun ini. Tetapi baru dibuka ...