Ketika
malam mulai berkemas, hari siap dimulai, aku terbangun dari tidur yang kurasa
bukan tidur. Tubuhku penuh peluh, pucat pasi. Bekas air terpancar dari rambutku
semalam; seorang bersayap bulu-bulu bermahkota mengusap rambutku perlahan; teramat
pelan. Aku tertahan dalam gerak, mulutku terkunci mataku terjaga. Tangannya
menyetuh daun telingaku dengan lembut; perlahan mulutnya mendekat ke telingaku.
Perlahan berbisik, “ Untukmu yang tertidur dibawah rembulan sempurna. Izinkanku
melakukannya.”
Sesosok
itu mengeluarkan cawan dari tangan kanannya; tangan kirinya perlahan
memancurkan air. Ditampunglah air itu dalam cawan. Mataku terpejam; semuanya
gelap. Aku merasakan air menyiram tubuhku teramat deras. Kuterhanyut dalam
sungai yang airnya dingin menggeretak tulang dan tak kutahui muaranya.
Sinar
mentari melewati bingkai jendela; kemudian bermuara di lensa mataku. Kuterduduk
dalam ranjangku. Mencoba menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Teramat pelik
untuk dimengerti. Aku merasakannya.
“Buka
kedua matamu, bukalah,” ucapnya berbisik di serambi telinaku. Sedikit demi
sedikit mataku terbuka. Aku merasa asing dengan tempatku; tempatku berpijak
saat ini. Kucium wangi yang belum bersahabat dengan hidungku; kuhirup dalam
dalam aroma wangi tersebut. Sontak jiwaku
melayang menghampiri bintang di angkasa. Saat nafasku kuhembuskan aku
sudah berada di tempat semula.
Aku
mencari suara yang membisikku; tak kutemui seorangpun dalam pandangan mata.
Kuarahkan mataku kedepan; kulihat mata air yang terpancar dari selang yang
lumayan besar, bukan selang, namaun seperti selang, ah, aku tidak tahu.
Sementara kananku sebatas mata memandang hanya kulihat pohon cemara yang
menghijau menuju cakrawala; kiriku taman yang teramat bersih, tak ada
seorangpun disana. Kupandangi badanku. Ada lilitan benang, bukan benang
melainkan tali yang dipintal lembut, melilit badanku dengan erat.
Makhluk
bersayap itu pun kembali hadir di bola mataku. Makin mendekat kearahku; mencium
keningku. Tubuhku masih tidak bias bergerak, mulut pun masih kelu. “Duh manusia
yang teramat sempurna.”
Lalu
semuanya gelap gulita. Aku meraba badanku. Tak kutemukan tali yang mengikat
badanku. Namun aku menyentuh anak panah yang tiga perempat tertancap di
badanku; di hatiku. Masih gelap. Teramat gelap. Semuanya hitam. Dari telinga
kananku terdengar bisikan ‘Kan telah terkena panah cintaku. Jagalah dia.
Lindungilah dia. Sayangilah dia. Buatlah dia bahagia”
Sinar
mentari melewati bingkai jendela; kemudian bermuara di lensa mataku. Kuterduduk
dalam ranjangku. Mencoba menyimpulkan sendiri apa yang terjadi. Teramat pelik
untuk dimengerti. Aku merasakannya.
Komentar