“Apakah budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi
teman hidup?” Itulah pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam benakku.
Tepetnya hari ini (Selasa, 17 Juni 2014) sesudah aku
mengaji di pondok pesantren di dekat rumahku. Sebut saja namanya Nisa dan Abdul
(dia anak kyai). Aku melihat Nisa bermain bola di pelataran mushola.
Dari kejauhan Abdul membawa makanan yang diberikan oleh
ibunya. Saking gembiranya Abdul membawa plastik makanan itu dengan menaiki
sepeda sambil berlenggak –lenggok mengelilingi Puskestren (Pusat Kesehatan
Pesantren). Wusss.... dengan gaya ala Valentino Rossi. Nisa yang melihat Abdul
membawa makanan itu jadi ingin memintanya. Lantas dia memanggil Abdul dengan
suara yang tak karuan kerasnya, “Dul, aku minta jajananmu, Dul!”
Seperti sudah mendapatkan sinyal dari kakaknya, Abdul
mengayuh sepeda mendekati Nisa yang sedang bermain bola barunya di depanku.
Bola itu diberikan dari salah satu Partai yang berkampanye sebelum pemilu tahun
ini. Tetapi baru dibuka hari ini.
“Dul, kalau kamu nanti kasih aku jajanan itu, aku pinjami
bola deh,” Kata nisa dengan nada merayu.
“Aku juga punya!” Bantah Abdul dengan nada sombong seolah
tak melihat kakaknya.
Tak lama melihat kakaknya lalu Adul menyeringai, “Iya,
aku kasih. Nih.”
“Terimakasih Dul.”
Selepas memberi makanan kepada kakaknya plastik itu
menjadi kosong. Lalu dibuanglah plastik itu terlepas dengan santainya. Mungkin
kalau diperlambat dalm adegan film bisa seperti karti tsubasa. Padahal pelataran itu habis disapu oleh santi pondok
pesantren sini.
Nah, saat itu pertanyaanku kembali bangkit dari otakku. “Apakah
budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi teman hidup?”
“Eh, Nis, kenapa kamu buang sampah itu disini. Bukankah
sudah ada tempat sampah? Tanyaku.
Lalu Nisa melihat sampah itu kemudian melihatku, “Alah,
nanti juga sudah ada yang menyapu kok kang.”
Inikah yang disebut dengan bibit muda Indonesia? Yang
katanya esok lusa akan memawa perubahan terhadap tanah air ini. Entahlah?
Semua dari kebiasaan kecil hingga berujung pada kebiasaan
besar yang tak terpuji. Saya beri contoh tadi, Nisa dengan Abdul tadi. Aku
yakin ibu dari Nisa ini pernah sesekali membimbing dengan mengajari dia agar
tidak membuang sampah ssembarangan. Mulai dari mencontohi, menasehati
palan-pelan, sampai memberi tahu dampak dari perbuatan tersebut. Tapi entah
kenapa perintah itu terlepas begitu saja.
Nah, sampailah pada sesi kesimpulan. Kebiasaan buruk
bukanlah dari teladan orang tuanya, melainkan dari hasratnya sendiri dan status
sosial (dia anak kyai).
Komentar