Ini adalah cerpen yang pernah aku ikutkan lomba. Tetapi tidak mendapatkan juara. ya... maklumlah bahasanya masih acak-acakan. Selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan komentar.
“Nggak, aku nggak akan terpancing emosi sampai akhir
perjalanan ini,” kata pemuda berbaju merah yang duduk di kursi paling
belakanang di dekat sambungan gerbong.
“Pokoke
koe ora oleh lunga! Koe ki anak Emak siji-sijine, Nang!” Hanya itu yang diingat dari beribu-ribu kata emaknya. Pikirannya
tidak tentram saat ini. Banyak diliputi masalah. Apalagi tadi pagi setelah
adzan berkumandang, sebelum matahari menampakan diri berkumandang, pemuda ini
memecahkan gelas besar yang akan disajikan kepada bapaknya.
“Mbokyo alon-alon
to, Nang!” seru Bapaknya.
“Ngapunten,
Pak. Aku tidak sengaja,” jawab pemuda itu dengan perasaan sangat bersalah.
Sedikit mendesah, “Huh... kenapa ini, padahal tidak panas?”
Tidak seperti hari-hari
biasanya, wajah pemuda itu nampak sumringah. Melangkah pasti menuju taman
bacaan yang ada di dekat rumahnya untuk sekedar menghilangkan rasa penak.
Berjalan pelan menenteng tas kresek yang berisi buah-buahan yang baru dipanennya
kemaren sore. Kali ini si pemuda yang bernama Nara datang ke taman bacaan tidak
menggunakan sepeda jawa milik bapaknya, tetapi hanya berjalan menggunakan
sendal saja.
“Eh, itu Kak Nara. Membawa
apa ya?” si anak panti mengacungkan tangannya, kemudian memberi isyarat dengan
tangannya melambai memanggil temannya. Pemuda itu di sayangi oleh anak-anak
panti karena begitu suka dengan anak
kecil. Pemuda itu menganggap anak-anak di sini sebagai adiknya sendiri.
Bukan hanya membaca buku, pemuda tersebut datang ke taman bacaan. Tak jarang
juga datang membawa hadiah, bermain dengan mainan-mainan baru, bahkan mengajak
anak panti untuk berlibur meski hanya di taman kota.Pemuda itu selalu mengmberi
waktu luang walau hanya seperempat jam untuk datang ke Panti Asuhan Rahma.
“Iya tuh!” Teman dari anak
yang memanggil tadi mendekat. “Bawa apa ya, Kak Nara?”
Dari kejauhan pemuda itu nampak gagah membawa sekantong
buah-buahan. Melangkah dengan hati-hati takut celana jins-nya kotor oleh genangan
air hujan. Sesekali meloncat untuk menghindar dari genangan air tersebut.
Hap... Sedikt mengucap sambil meloncat. Tersenyum manis menghadap kerumpulan
bocah-bocah.
“Hari ini hari terakhir. Tidak ada yang spesial pula.
Huh...” desah pemuda lirih.
Belum juga sampai halaman taman bacaan tersebut, ia sudah
disambut oleh anak-anak panti. Tarik sini tarik sana. Tak ada tempat untuk
sekedar berjalan. “Kak Nara bawa apa, Kak? Iya, Kak? Kakak bawa apa? Untuk kami
kan, Kak?” suara yang bersahutan bergantian dari beberapa mulut yang sebagian
besar bergigi ompong.
“Kakak bawa buah rambutan untuk kalian.”
“Wah, enak itu, Kak. Dibuka ya, Kak?” Salah satu anak
panti merebut tas dari tangan pemuda berkaos hitam tersebut lalu membawanya
lari. Dikejarlah anak yang membawa plastik itu oleh anak yang ingin tahu isi
plastik tersebut.
“Ayo main, Kak!” pinta
gadis kecil yang mengenakan rok panjang dan berjilbab merah. Tidak berapa lama
kemudian terdengar lagi ajakan itu, tetapi berbeda anak yang mengajak, “Iya
Kak. Ayo main. Dari tadi kakak Cuma
duduk di sini. Ayo main!”
“Ayo. Sebelum kakak pergi ke Jakarta. Kita main sampai
puas, okey?” jawab pemuda tersebut sedikit mengerutkan dahinya. Menghirup udara
sekitar lalu menghembuskan secara perlahan-lahan.
“Pelgi ke Jakalta, Kak? Jadi kami tidak bisa belmain
dengan Kakak lagi?” ucap dari mulut kecil yang masih cadel tersebut yang terlihat sedih.
Dengan gagap pemuda tersebut menjawab pertanyaan dari
bocah gendut yang masih cadel tersebut, “I... iya, Dik. Kakak tidak akan
bertemu kalian lagi, tapi kalian jangan bersedih. Kakak akan pulang dari
Jakalta membawa oleh-oleh yang banyak. Seneng enggak dengan oleh-oleh?”
“Benelan, Kak? Seneng banget,” ucap manja dari anak panti
yang sedari tadi berada di samping kanannya sambil membawa mainan mobil-mobilan
yang terbuat dari kayu.
“I... i... iya, De... Dek.” jawab pemuda itu dengan gaya
bahasa barunya, yaitu dengan tergagap. Entah sejak kapan pemuda tersebut mulai
tergagap. Bahkan sejak kecilpun pemuda itu sudah pintar berbahasa, entah
berbahasa Jawa ataupun berbahasa Indonesia tanpa gagap.
Di depan taman bacaan ini ada sebelas anak. Tujuh anak
mengerubungi pemuda berkaos hitam dan sisanya asyik membaca buku. Semuanya
tampak sumringah sejak kedatangan pemuda tersebut. Semua anak menjadi senang
setelah mendengar pemuda tersebut pulang dari Jakarta membawa oleh -oleh yang
banyak. Yang dipikirkan bocah tersebut hanyalah senangnya. Tidak mengetahui
berapa jumlah hari dalam seminggu, sebulan, setahun, ataukah selamanya pemuda
berambut ikal itu akan pergi. Yang dipikirkan bersenang-senang dan bersenang-senang.
“Nak... Nak... berhenti
sebentar, Nak!” seru ibu panti menyusul langkah dari pemuda berkaos hitam dari
halaman taman bacaan.
“Eh, Ibu. Ada apa lagi, Bu?” tanya pemuda tersebut.
“Ini,” menyulurkan tangannya memberi sesuatu.
Dengan reflek pemuda tersebut menerima barang yang diberikan
kepadanya. “Apa ini, Bu? Oh, foto? Buat aku, Bu?
“Iya, Nak. Mungkin kamu selama di Jakarta sangat
merindukan anak-anak di sini. Jadi Ibu hanya bisa memberi foto kita bersama ini
saja. Ingat ya, Nak, jika dirimu sukses di Jakarta, jangan lupakan keluarga
kecilmu ini,” ucapnya sedih lalu memalingkan badannya. Dari belakang ibu panti
tampak nyentuh mata, melangkah ke taman bacaan yang sudah dikerumpuli oleh
anak-anak panti melambaikan tangannya.
“Bu,” sontak Ibu Panti membalikkan badannya dan
tersenyum.
“Terimakasih ya, Bu.”
“Selamat jalan,
Nak Nara. Semoga di Jakarta kamu dapat menemukan dunia barumu,” sambung ibu
panti dengan melambaikan tangannya memberi salam terakhir, “Selamat tinggal.”
***
Jam tangan pemuda tersebut menunjukkan angka empat. Itu
artinya hari sudah larut, membuat bayangn letaknya berada di timur pohon.
Hamparan persawahan yang berwarna kuning mewarnai petak-petak sawah yang terletak
di kiri kanan jalan kereta tersebut. Pemuda tersebut memendang lurus ke arah
jendela dengan mata sembabnya, menyaksikan beberapa pohon yang berlari
berlawanan dengan laju kereta. Pikiran pemuda tersebut masih kacau. Mengingat
terakhir kali meningalkan kampung halamannya. “Pokoke Emak ora ngolehke koe menyang Jakarta, Nang” Kata-kata itu tertanam sangat dalam di pikirannya. Setiap
melihat ibu-ibu berlalu-lalang di depannya pasti ia teringat dengan emaknya.
Entah itu penjaja rokok ataupun penumpang.
“Mak, aku ingin mencari pengalaman, Mak. Sampai kapan aku
menjadi pengangguran di rumah ini, Mak,” bujuk pemuda yang matanya berkaca-kaca.
Belum juga dihapus, sudah menetes di lantai dapurnya. Lalu merembes dan hilang
ditelan tanah yang kering.
“Pokoke koe ora
oleh lunga! Koe ki anak siji-sijine emak, Nang!” serunya.
“Tapi, Mak! Aku ingin membahagiakan Emak,” sambung pemuda
tersebut menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah.
“Jakarta itu hidup susah, Nang. Di mana-mana harus membayar,” sambung Emak Pemuda tersebut
sambil sedikit menggelengkan kepala.
“Tapi Mak?”
“Iyo, Nang. Aku mengerti kamu ingin
membahagiakan Emak, tapi kamu masih terlalu muda untuk meninggalkan Emak, Nang,” jawab Emak tersebut menahan
sedunya.
“Aku enggak akan meninggalkan Emak?” Jawab paemuda lalu
menyamnungnya, “Tapi Mak?”
“Yo, karepmulah,
Nak. Koe kerja juga buat menyambung hidupmu nanti.”
“Jadi emak ngestoni?”
tanya pemuda tersebut sambil menghapus air matanya.
Melihat emaknya yang sudah berubah pikiran, pemuda
tersebut lalu masuk ke kamarnya dan keluar menggeret tas besar yang sudah disiapkan
tadi malam. Bersap-siap untuk meninggalkan kampung halamannya melangkah demi
masa depan. Pemuda itu hanya berpamitan dengan emaknya saja karena bapaknya
masih bergelut di sawah sejak habis adzan dzuhur tadi. Melangkah dengan ragu-ragu
meninggalkan kampung halamannya. Melambaikan tangan ke belakang dengan mata
sedikit menyipit.
***
Mentari belum sempat menampakan diri. Kabut putih masih
padat menyelimuti rumah pemuda tersebut. Daun-daun juga masih basah tegenang
air malam. Tetapi berbeda dengan pagi biasanya. Pemuda iu datang ke taman
bacaan tersebut membawa foto yang di pegang erat.
Tok... tok... tok... Suara pintu panti asuhan di ketok
oleh pemuda tersebut “Iya, sebentar!” samhut ibu panti sambil bergaya
membukakan pintu.
“Eh, Nak Nara. Ada apa, Nak? Katanya pergi ke Jakarta?
Apa nggak jadi meninggalkan kampung ini? Terlalu berat bukan harus meninggalkan
kedua orang tuamu? Atau terlalu meninggalkan kami?” tanya ibu panti secara sambung-menyambung.
Pemuda tersebut hanya melihat ke arah muka Ibu panti dengan tatapan kosong.
“Kamu itu ditanyain malah bengong! Kamu nggak jadi ke
Jakarta, Nak?”
“E...nggak, saya masih akan tetap di kampung ini, Bu”
Jawabnya parau.
Ibu panti merasa senang karena pemuda tersebut
mengurungkan niatnya untuk merantau di Jakarta. Terlebih lagi jika pemuda
tersebut membatalkan untuk ke Jakarta, anak-anak dipanti asuhannya ada yang
menghiburnya sahingga ibu panti dapat menjalankan pekerjaan lainnya.
Ibu panti menarik bibirnya yang tipis kemudian
mengerutkan dahinya, “Kamu enggak kenapa-napa to, Nak? Kok muka kamu pucat sekali?”
tanya ibu panti dengan penuh penasaran. Pemuda tersebut hanya menggeleng
seperti orang tak berdosa.
“Ini fotonya saya kembalikan, Bu,” ucap pemuda dengan
pandangan yang masih kosong. Melirik ke dalam pintu masuk panti, “Anak-anak
belum bangun, Bu?”
“Lho. Belum, Nak. Masih tidur semuanya,” jawab lembut ibu
panti tersebut.
“Aku titip salam terakhir ya, Buk. Aku juga berharap Ibu
dapat mendidik mereka menggantikan saya.”
Belum sempat Ibu panti tersebut menanyai apa alasannya
pemuda tersebut mengembalikan fotonya, maksud dari menggantikan aku, dan
menanyakan kenapa ia membatalkan magang di Jakarta. Tak berapa lama kemudian
pemuda itu memalingkan badan. Membuka langkah menjahui pintu, menyeret kakinya
secara perlahan meninggalkan ibu panti sendiri yang masih menyimpan pertanyaan
besar untuknya.
Langit cerah yang ada pada diri Ibu panti tersebut berubah menjadi mendung. Setelah pemuda itu
berjalan agak jauh, ibu panti bertanya kepada dirinya sendiri, “Kok berbeda
dari biasanya si Nara?”
Dua hari telah berlalau setelah pemuda tersebut mengucapkan
selamat tinggal untuk anak-anak panti. Sore itu, ketika langit merombak warnanya
menjadi merah. Lampu-lampu di jalan satu
demi satu mulai menyala, bahkan kini semuanya menylala. Disusul adzan maghrib
berkumandang dari toa masjid dekat
rumah pemuda tersebut.
Terdengar dari kejauhan suara sirine mobil ambulance melintasi jalan masuk rumah
pemuda tersebut. Tidak berapa lama kemudian ambulance tersebut berhenti tepat di
depan pintu rumah nomor 47.
“Pak, ada apa ini, Pak? Kok ada mobil ini berhenti di rumahku?
Siapa yang sakit, Pak?” tanya emak tersebut sedikit berlari keluar meninggalkan
pintu. Lalu disusul Bapak dari pemuda tersebut. Dalam pikiran Emak, kalau ada ambulance, berarti ada yang sakit.
“Maaf, Bu, Pak, sebelumnya. Apakah ini rumah Nara
Aditya?” desak supir ambulance yang
menghadap Emak dan Bapak dari pemuda tersebut.
“Iya, benar, Pak. Ada apa dengan anak saya, Pak? Apakah
anak saya sakit, Pak?”
“Begini, Bu. Kereta yang di tumpangi anak Anda mengalami
kecelakaan di dekat Cirebon.”
“Ha? kecelakaan, Pak? Terus anak saya gimana, Pak?
Selamtkan kan, Pak?” Wajah emak tersebut berubah semakin pucat.
“Bapak kalau memberi kabar hati-hati, Pak!” seru orang
yang mendampingi Emak sambil mengacungkan tangannya ke arah supir ambulance tersebut. Bapak dari pemuda
itu tidak dapat menahan marahnya. Menuntuk memperbaiki bicaranya.
“Ini bener terjadi, Pak, Bu. Dalam kecelakaan kereta
tersebut, tiga orang di nyatakan meninggal termasuk anak Anda, yang bernama
Nara Aditya Pak, Bu.”
Dalam hitungan detik setelah mendengar berita bahwa anak tersebut
telah meninggal, Emak dengan langkah tergesa-gesa ikut membuka pintu belakang
ambulance sambil menahan air mata yang tidak sanggup di tahannya. Melihat
anaknya berlumuran darah sudah tertidur di keranda ambulan.
“Duh Gusti... koe ki wis tak kandani rasah menyang kok
ngeyel Nang.... Nang....” Kata penuh sedu keluar dari bibir emak pemuda
tersebut. Kali ini bapaknya tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah melihat
putranya. Marah yang tadinya tersemburat dari raut mukanya kini membeku.
Ibu Panti yang mendengar kabar bahwa pemuda tersebut
telah meninggal membuatnya semakin takut. Bukannya ikut berduka di rumah pemuda
tersebut tetapi malah berdiam diri di kamarnya sambil memegang foto yang pemuda tersebut tadi pagi. Ia berjalan
mondar-mandir. Terus menerus memikirkan kejadian tadi pagi, “Siapa yang
memberikan foto ini?”
Ibu panti tersebut
keluar rumah juga tetapi, keluar rumah bukan ikut melayat, melainkan pergi ke
rumah sakit untuk menanyakan barang-barang yang di bawanya waktu perjalanan ke
Jakarta.
Usai bertanya mengenai barang yang ditemukan di dekat
jasat pemuda tersebut ternyata hanya menemukan tas besar yang berisi baju.
Dalam tas itu juga tidak ada kertas foto yang dia berikan. Membuat ibu panti ketakutan
dan bertanya tanya, “Siapa pemuda yang kemarin pagi memberikan foto itu kepada
saya?”
Tidak tahu pasti, yang pasti tanyakan kepada orang yang
tergeletak di kerumnan orang membacakn surah Al-Yasin.
***
Terima kasih sudah mengunjungi blog saya, terimakasih pula sudah membaca.
Komentar