Langsung ke konten utama

Cerpen Pasundan CC 203



Ini adalah cerpen yang pernah aku ikutkan lomba. Tetapi tidak mendapatkan juara. ya... maklumlah bahasanya masih acak-acakan. Selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan komentar.
“Nggak, aku nggak akan terpancing emosi sampai akhir perjalanan ini,” kata pemuda berbaju merah yang duduk di kursi paling belakanang di dekat sambungan gerbong.
“Pokoke koe ora oleh lunga! Koe ki anak Emak siji-sijine, Nang!” Hanya itu yang diingat dari beribu-ribu kata emaknya. Pikirannya tidak tentram saat ini. Banyak diliputi masalah. Apalagi tadi pagi setelah adzan berkumandang, sebelum matahari menampakan diri berkumandang, pemuda ini memecahkan gelas besar yang akan disajikan kepada bapaknya.
Mbokyo alon-alon to, Nang!” seru Bapaknya.
Ngapunten, Pak. Aku tidak sengaja,” jawab pemuda itu dengan perasaan sangat bersalah. Sedikit mendesah, “Huh... kenapa ini, padahal tidak panas?”
            Tidak seperti hari-hari biasanya, wajah pemuda itu nampak sumringah. Melangkah pasti menuju taman bacaan yang ada di dekat rumahnya untuk sekedar menghilangkan rasa penak. Berjalan pelan menenteng tas kresek yang berisi buah-buahan yang baru dipanennya kemaren sore. Kali ini si pemuda yang bernama Nara datang ke taman bacaan tidak menggunakan sepeda jawa milik bapaknya, tetapi hanya berjalan menggunakan sendal saja.
            “Eh, itu Kak Nara. Membawa apa ya?” si anak panti mengacungkan tangannya, kemudian memberi isyarat dengan tangannya melambai memanggil temannya. Pemuda itu di sayangi oleh anak-anak panti karena begitu suka dengan anak  kecil. Pemuda itu menganggap anak-anak di sini sebagai adiknya sendiri. Bukan hanya membaca buku, pemuda tersebut datang ke taman bacaan. Tak jarang juga datang membawa hadiah, bermain dengan mainan-mainan baru, bahkan mengajak anak panti untuk berlibur meski hanya di taman kota.Pemuda itu selalu mengmberi waktu luang walau hanya seperempat jam untuk datang ke Panti Asuhan Rahma.
            “Iya tuh!” Teman dari anak yang memanggil tadi mendekat. “Bawa apa ya, Kak Nara?”
Dari kejauhan pemuda itu nampak gagah membawa sekantong buah-buahan. Melangkah dengan hati-hati takut celana jins-nya kotor  oleh genangan air hujan. Sesekali meloncat untuk menghindar dari genangan air tersebut. Hap... Sedikt mengucap sambil meloncat. Tersenyum manis menghadap kerumpulan bocah-bocah.
“Hari ini hari terakhir. Tidak ada yang spesial pula. Huh...” desah pemuda lirih.
Belum juga sampai halaman taman bacaan tersebut, ia sudah disambut oleh anak-anak panti. Tarik sini tarik sana. Tak ada tempat untuk sekedar berjalan. “Kak Nara bawa apa, Kak? Iya, Kak? Kakak bawa apa? Untuk kami kan, Kak?” suara yang bersahutan bergantian dari beberapa mulut yang sebagian besar bergigi ompong.
“Kakak bawa buah rambutan untuk kalian.”
“Wah, enak itu, Kak. Dibuka ya, Kak?” Salah satu anak panti merebut tas dari tangan pemuda berkaos hitam tersebut lalu membawanya lari. Dikejarlah anak yang membawa plastik itu oleh anak yang ingin tahu isi plastik tersebut.
 “Ayo main, Kak!” pinta gadis kecil yang mengenakan rok panjang dan berjilbab merah. Tidak berapa lama kemudian terdengar lagi ajakan itu, tetapi berbeda anak yang mengajak, “Iya Kak. Ayo main. Dari tadi kakak  Cuma duduk di sini. Ayo main!”
“Ayo. Sebelum kakak pergi ke Jakarta. Kita main sampai puas, okey?” jawab pemuda tersebut sedikit mengerutkan dahinya. Menghirup udara sekitar lalu menghembuskan secara perlahan-lahan.
“Pelgi ke Jakalta, Kak? Jadi kami tidak bisa belmain dengan Kakak lagi?” ucap dari mulut kecil yang masih cadel tersebut yang terlihat sedih.
Dengan gagap pemuda tersebut menjawab pertanyaan dari bocah gendut yang masih cadel tersebut, “I... iya, Dik. Kakak tidak akan bertemu kalian lagi, tapi kalian jangan bersedih. Kakak akan pulang dari Jakalta membawa oleh-oleh yang banyak. Seneng enggak dengan oleh-oleh?”
“Benelan, Kak? Seneng banget,” ucap manja dari anak panti yang sedari tadi berada di samping kanannya sambil membawa mainan mobil-mobilan yang terbuat dari kayu.
“I... i... iya, De... Dek.” jawab pemuda itu dengan gaya bahasa barunya, yaitu dengan tergagap. Entah sejak kapan pemuda tersebut mulai tergagap. Bahkan sejak kecilpun pemuda itu sudah pintar berbahasa, entah berbahasa Jawa ataupun berbahasa Indonesia tanpa gagap.
Di depan taman bacaan ini ada sebelas anak. Tujuh anak mengerubungi pemuda berkaos hitam dan sisanya asyik membaca buku. Semuanya tampak sumringah sejak kedatangan pemuda tersebut. Semua anak menjadi senang setelah mendengar pemuda tersebut pulang dari Jakarta membawa oleh -oleh yang banyak. Yang dipikirkan bocah tersebut hanyalah senangnya. Tidak mengetahui berapa jumlah hari dalam seminggu, sebulan, setahun, ataukah selamanya pemuda berambut ikal itu akan pergi. Yang dipikirkan bersenang-senang dan bersenang-senang.
 “Nak... Nak... berhenti sebentar, Nak!” seru ibu panti menyusul langkah dari pemuda berkaos hitam dari halaman taman bacaan.
“Eh, Ibu. Ada apa lagi, Bu?” tanya pemuda tersebut.
“Ini,” menyulurkan tangannya memberi sesuatu.
Dengan reflek pemuda tersebut menerima barang yang diberikan kepadanya. “Apa ini, Bu? Oh, foto? Buat aku, Bu?
“Iya, Nak. Mungkin kamu selama di Jakarta sangat merindukan anak-anak di sini. Jadi Ibu hanya bisa memberi foto kita bersama ini saja. Ingat ya, Nak, jika dirimu sukses di Jakarta, jangan lupakan keluarga kecilmu ini,” ucapnya sedih lalu memalingkan badannya. Dari belakang ibu panti tampak nyentuh mata, melangkah ke taman bacaan yang sudah dikerumpuli oleh anak-anak panti melambaikan tangannya.
“Bu,” sontak Ibu Panti membalikkan badannya dan tersenyum.
“Terimakasih ya, Bu.”
 “Selamat jalan, Nak Nara. Semoga di Jakarta kamu dapat menemukan dunia barumu,” sambung ibu panti dengan melambaikan tangannya memberi salam terakhir, “Selamat tinggal.”
***
Jam tangan pemuda tersebut menunjukkan angka empat. Itu artinya hari sudah larut, membuat bayangn letaknya berada di timur pohon. Hamparan persawahan yang berwarna kuning mewarnai petak-petak sawah yang terletak di kiri kanan jalan kereta tersebut. Pemuda tersebut memendang lurus ke arah jendela dengan mata sembabnya, menyaksikan beberapa pohon yang berlari berlawanan dengan laju kereta. Pikiran pemuda tersebut masih kacau. Mengingat terakhir kali meningalkan kampung halamannya. “Pokoke Emak ora ngolehke koe menyang Jakarta, Nang” Kata-kata itu tertanam sangat dalam di pikirannya. Setiap melihat ibu-ibu berlalu-lalang di depannya pasti ia teringat dengan emaknya. Entah itu penjaja rokok ataupun penumpang.
“Mak, aku ingin mencari pengalaman, Mak. Sampai kapan aku menjadi pengangguran di rumah ini, Mak,” bujuk pemuda yang matanya berkaca-kaca. Belum juga dihapus, sudah menetes di lantai dapurnya. Lalu merembes dan hilang ditelan tanah yang kering.
“Pokoke koe ora oleh lunga! Koe ki anak siji-sijine emak, Nang!” serunya.
“Tapi, Mak! Aku ingin membahagiakan Emak,” sambung pemuda tersebut menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah.
“Jakarta itu hidup susah, Nang. Di mana-mana harus membayar,” sambung Emak Pemuda tersebut sambil sedikit menggelengkan kepala.
“Tapi Mak?”
Iyo, Nang. Aku mengerti kamu ingin membahagiakan Emak, tapi kamu masih terlalu muda untuk meninggalkan Emak, Nang,” jawab Emak tersebut menahan sedunya.
“Aku enggak akan meninggalkan Emak?” Jawab paemuda lalu menyamnungnya, “Tapi Mak?”
“Yo, karepmulah, Nak. Koe kerja juga buat menyambung hidupmu nanti.”
“Jadi emak ngestoni?” tanya pemuda tersebut sambil menghapus air matanya.
Melihat emaknya yang sudah berubah pikiran, pemuda tersebut lalu masuk ke kamarnya dan keluar menggeret tas besar yang sudah disiapkan tadi malam. Bersap-siap untuk meninggalkan kampung halamannya melangkah demi masa depan. Pemuda itu hanya berpamitan dengan emaknya saja karena bapaknya masih bergelut di sawah sejak habis adzan dzuhur tadi. Melangkah dengan ragu-ragu meninggalkan kampung halamannya. Melambaikan tangan ke belakang dengan mata sedikit menyipit.
***
Mentari belum sempat menampakan diri. Kabut putih masih padat menyelimuti rumah pemuda tersebut. Daun-daun juga masih basah tegenang air malam. Tetapi berbeda dengan pagi biasanya. Pemuda iu datang ke taman bacaan tersebut membawa foto yang di pegang erat.
Tok... tok... tok... Suara pintu panti asuhan di ketok oleh pemuda tersebut “Iya, sebentar!” samhut ibu panti sambil bergaya membukakan pintu.
“Eh, Nak Nara. Ada apa, Nak? Katanya pergi ke Jakarta? Apa nggak jadi meninggalkan kampung ini? Terlalu berat bukan harus meninggalkan kedua orang tuamu? Atau terlalu meninggalkan kami?” tanya ibu panti secara sambung-menyambung. Pemuda tersebut hanya melihat ke arah muka Ibu panti dengan tatapan kosong.
“Kamu itu ditanyain malah bengong! Kamu nggak jadi ke Jakarta, Nak?”
“E...nggak, saya masih akan tetap di kampung ini, Bu” Jawabnya parau.
Ibu panti merasa senang karena pemuda tersebut mengurungkan niatnya untuk merantau di Jakarta. Terlebih lagi jika pemuda tersebut membatalkan untuk ke Jakarta, anak-anak dipanti asuhannya ada yang menghiburnya sahingga ibu panti dapat menjalankan pekerjaan lainnya.
Ibu panti menarik bibirnya yang tipis kemudian mengerutkan dahinya, “Kamu enggak kenapa-napa to, Nak? Kok muka kamu pucat sekali?” tanya ibu panti dengan penuh penasaran. Pemuda tersebut hanya menggeleng seperti orang tak berdosa.
“Ini fotonya saya kembalikan, Bu,” ucap pemuda dengan pandangan yang masih kosong. Melirik ke dalam pintu masuk panti, “Anak-anak belum bangun, Bu?”
“Lho. Belum, Nak. Masih tidur semuanya,” jawab lembut ibu panti tersebut.
“Aku titip salam terakhir ya, Buk. Aku juga berharap Ibu dapat mendidik mereka menggantikan saya.” 
Belum sempat Ibu panti tersebut menanyai apa alasannya pemuda tersebut mengembalikan fotonya, maksud dari menggantikan aku, dan menanyakan kenapa ia membatalkan magang di Jakarta. Tak berapa lama kemudian pemuda itu memalingkan badan. Membuka langkah menjahui pintu, menyeret kakinya secara perlahan meninggalkan ibu panti sendiri yang masih menyimpan pertanyaan besar untuknya.
Langit cerah yang ada pada diri Ibu panti tersebut  berubah menjadi mendung. Setelah pemuda itu berjalan agak jauh, ibu panti bertanya kepada dirinya sendiri, “Kok berbeda dari biasanya si Nara?”
Dua hari telah berlalau setelah pemuda tersebut mengucapkan selamat tinggal untuk anak-anak panti. Sore itu, ketika langit merombak warnanya menjadi merah.  Lampu-lampu di jalan satu demi satu mulai menyala, bahkan kini semuanya menylala. Disusul adzan maghrib berkumandang dari toa masjid dekat rumah pemuda tersebut.
Terdengar dari kejauhan suara sirine mobil ambulance melintasi jalan masuk rumah pemuda tersebut. Tidak berapa lama kemudian ambulance tersebut berhenti tepat di depan pintu rumah nomor 47.
“Pak, ada apa ini, Pak? Kok ada mobil ini berhenti di rumahku? Siapa yang sakit, Pak?” tanya emak tersebut sedikit berlari keluar meninggalkan pintu. Lalu disusul Bapak dari pemuda tersebut. Dalam pikiran Emak, kalau ada ambulance, berarti ada yang sakit.
“Maaf, Bu, Pak, sebelumnya. Apakah ini rumah Nara Aditya?” desak supir ambulance yang menghadap Emak dan Bapak dari pemuda tersebut.
“Iya, benar, Pak. Ada apa dengan anak saya, Pak? Apakah anak saya sakit, Pak?”
“Begini, Bu. Kereta yang di tumpangi anak Anda mengalami kecelakaan di dekat Cirebon.”
“Ha? kecelakaan, Pak? Terus anak saya gimana, Pak? Selamtkan kan, Pak?” Wajah emak tersebut berubah semakin pucat.
“Bapak kalau memberi kabar hati-hati, Pak!” seru orang yang mendampingi Emak sambil mengacungkan tangannya ke arah supir ambulance tersebut. Bapak dari pemuda itu tidak dapat menahan marahnya. Menuntuk memperbaiki bicaranya.
“Ini bener terjadi, Pak, Bu. Dalam kecelakaan kereta tersebut, tiga orang di nyatakan meninggal termasuk anak Anda, yang bernama Nara Aditya Pak, Bu.”
Dalam hitungan detik setelah mendengar berita bahwa anak tersebut telah meninggal, Emak dengan langkah tergesa-gesa ikut membuka pintu belakang ambulance sambil menahan air mata yang tidak sanggup di tahannya. Melihat anaknya berlumuran darah sudah tertidur di keranda ambulan.
Duh Gusti... koe ki wis tak kandani rasah menyang kok ngeyel Nang.... Nang....” Kata penuh sedu keluar dari bibir emak pemuda tersebut. Kali ini bapaknya tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah melihat putranya. Marah yang tadinya tersemburat dari raut mukanya kini membeku.
Ibu Panti yang mendengar kabar bahwa pemuda tersebut telah meninggal membuatnya semakin takut. Bukannya ikut berduka di rumah pemuda tersebut tetapi malah berdiam diri di kamarnya sambil memegang foto yang  pemuda tersebut tadi pagi. Ia berjalan mondar-mandir. Terus menerus memikirkan kejadian tadi pagi, “Siapa yang memberikan foto ini?”
 Ibu panti tersebut keluar rumah juga tetapi, keluar rumah bukan ikut melayat, melainkan pergi ke rumah sakit untuk menanyakan barang-barang yang di bawanya waktu perjalanan ke Jakarta.
Usai bertanya mengenai barang yang ditemukan di dekat jasat pemuda tersebut ternyata hanya menemukan tas besar yang berisi baju. Dalam tas itu juga tidak ada kertas foto yang dia berikan. Membuat ibu panti ketakutan dan bertanya tanya, “Siapa pemuda yang kemarin pagi memberikan foto itu kepada saya?”
Tidak tahu pasti, yang pasti tanyakan kepada orang yang tergeletak di kerumnan orang membacakn surah Al-Yasin.
***


Terima kasih sudah mengunjungi blog saya, terimakasih pula sudah membaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Tugas Bahasa Jawa "Upacara Adat Nyadran"

TUGAS BASA JAWA UPACARA ADAT NYADRAN Dipun Susun Dening: Wildan Wing Wirawan (02) Fauzar Restu Ginanjar (07) Nurina Oktavianti (23) Retno Hastuti (24) Kelas XII MIPA 4 SMA NEGERI 2 WATES BAB I A.     Dhasaring Panaliten Kebudayaan inggih menika elemen ingkang mboten saged kalepas saking kahuripan manungsa. Wonten satunggal sisi, manungsa nyiptaaken budaya, ananging wonten sisi lain, manungsa prosduk saka budaya kang urip. Sesambetan pengaruh menika butki manungsa moten saged urip tanpa budaya. Kahuripan budaya inggih menika titikan manungsa lan badhe kalampahan dening manungsa. Wonten ing Indonesia kathah ragam kebudayaan. Salah satunggaling inggih menika upacara nyadran. Upacara nyadran yaiku pesta rakyat sing awujud bentuk rasa syukure masyarakat marang Gusti Allah amarga bumi iki bisa dadi sumbere urip. Acara manganan utawa nyadran lumrahe saben desa nduweni dina, tradisi lan panggonan sing beda-beda. Ana sing dirindak...

Puisi Sketsa Rembulan Padam

Hari gelap Dimana setengah hari berubah menjadi hitam Warna-warna terang berubah menjadi remang dan gelap Rembulan, Rembulan datang menyinari ketika hari itu datang Mengganti warna-warna remang dan gelap menjadi terang Kesunyian, Kesunyia yang mencekap kerap kali menemani Berdiri dipojok-pojok sebuah hati, tak mau pergi “Aku tahu kamu hari ini akan datang Aku tahu hari ini juga dirimu akan datang Aku menantikan walau hanya sepatah kata Tetap menunggu dibawah harapan” Angin berhembus Berhembus diantara sebuah perasaan yang terikat oleh janji Mengikat kuat melukai perasan Padam, Bulan sempurna padam, tak ada yang menggantung Tinggal perasaanku yang digantungkan Pohon Digantung diantara pepohonan nan tinggi menjulang Terikat oleh suata zat yang tidak diketahui bentuknya

Esay "Karena Sampah Sudah Menjadi Biasa"

“Apakah budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi teman hidup?” Itulah pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam benakku. Tepetnya hari ini (Selasa, 17 Juni 2014) sesudah aku mengaji di pondok pesantren di dekat rumahku. Sebut saja namanya Nisa dan Abdul (dia anak kyai). Aku melihat Nisa bermain bola di pelataran mushola. Dari kejauhan Abdul membawa makanan yang diberikan oleh ibunya. Saking gembiranya Abdul membawa plastik makanan itu dengan menaiki sepeda sambil berlenggak –lenggok mengelilingi Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren). Wusss.... dengan gaya ala Valentino Rossi. Nisa yang melihat Abdul membawa makanan itu jadi ingin memintanya. Lantas dia memanggil Abdul dengan suara yang tak karuan kerasnya, “Dul, aku minta jajananmu, Dul!” Seperti sudah mendapatkan sinyal dari kakaknya, Abdul mengayuh sepeda mendekati Nisa yang sedang bermain bola barunya di depanku. Bola itu diberikan dari salah satu Partai yang berkampanye sebelum pemilu tahun ini. Tetapi baru dibuka ...