Langsung ke konten utama

Esay Budaya Membaca, “Mari kita jalankan”



Siapa sih yang tidak pernah melihat buku? Kabanyakanya jawabannya pasti tidak ada. Entah itu pelajar, ibu rumah tangga, sampai anak jalanan pasti sudah pernah melihat buku. Ya, buku memang sudah menjadi barang tatapan sehari-hari. Tapi keberadaan buku itu tak semata-mata banyak yang membacanya. Kebeadaannya hanya menjadi tatapan sekilas. Seperti di toko buku,  hanya dilihat oleh orang-orang yang berlalu-lalang di depan toko tersebut. Yang memasuknya hanya hitungan orang. Juga di taman bacaan, padahal sudah menawarkan dengan Cuma-Cuma. Tapi penikmatnya hanya beberapa saja.
Bukankah dulu waktu kita bersekolah pada jenjang paling rendah, kita dituntut supaya gemar membaca? Katanya dulu dengan membaca kita dapat mengetahui hal-hal yang tidak tahu menjadi tahu, hal-hal yang di anggap kasar kita dapat menghaluskannya. Tetapi skarang hal-hal yang tidak tahu malah menjadi beban yang tidak mau untuk mengetahuinya.
Kalau kiat badingkan dengan negara tetangga, Singapura. Di sana, disela-sela kesibukan diisi dengan membolak-balik halaman buku. Entah itu saat berangkat bekerja dengan menggunakan angkutan umum, di sana banyak orang menunggu sampai tujuan dengan duduk manis sambil membaca buku.
Berbanding terbalik dengan negara kita. Pada saat menunggu angkutan umum sampai kebanyakan makah tidur. Padahal itu hanya mensia-siakan waktu saja. Juga tak jarang malah ribut sendiri dengan penumpang yang lainnya. Masalah asam rokok kek, masalah tidak kebagian tempat duduk juga masalah anak kecil yang menangis dalam angkutan. Ini juga salahnya kita, juga pemerintah yang kurang memperhatikan hal-hal yang bermanfaat.
Hal-hal yang bermanfaat? Ya, itu adalah hal-hal yang bermanfaat. Coba saja hal-hal tersebut dapat berjalan dengan damai. Mungkin akan menjadi sesuatu yang positif seperti membaca buku tersebut. Karena membaca buku itu berdasarkan mood kita. Pada saat yang tenang, memang asik untuk tidur. Tetapi lebih asik lagi kita membuka cakrawala. Berbeda dengan saat gaduh, pasti semuanya merasakan ketidak nyamannan tersebut. Perasaan itu kemudian tumbuh menjadi emosionan.
Nah, jika opini di atas berjalan sesuai alur yang dibicarakan. Maka keinginan kita untuk membaca naik dan naik. Kita menjadi tahu, bukan sok tahu lagi.
Ditamah lagi pada era globalisasi ini memang harus bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Cara yang sederhana untuk mendampingi zaman yang berjalan sedemikian rupa adalah dengan membaca. Kita dapat mengetahui berita-berita tanpa harus mengeluarkan uang lebih. Contohnya membaca koran, kita dapat membaca koran pada koran-koran yang ditempel di papan penempelan koran.
Jadi, gemar membaca bukan Cuma berasal dari kesadaran akan ilmu pengetahuan. Tetapi juga faktor prasarana dan emosi. Kalau saja prasana untuk membaca itu nyaman pasti emosi untuk membaca akan naik. Sehingga budaya membaca merebak dimana-mana. Budaya Membaca, “Mari kita jalankan”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Tugas Bahasa Jawa "Upacara Adat Nyadran"

TUGAS BASA JAWA UPACARA ADAT NYADRAN Dipun Susun Dening: Wildan Wing Wirawan (02) Fauzar Restu Ginanjar (07) Nurina Oktavianti (23) Retno Hastuti (24) Kelas XII MIPA 4 SMA NEGERI 2 WATES BAB I A.     Dhasaring Panaliten Kebudayaan inggih menika elemen ingkang mboten saged kalepas saking kahuripan manungsa. Wonten satunggal sisi, manungsa nyiptaaken budaya, ananging wonten sisi lain, manungsa prosduk saka budaya kang urip. Sesambetan pengaruh menika butki manungsa moten saged urip tanpa budaya. Kahuripan budaya inggih menika titikan manungsa lan badhe kalampahan dening manungsa. Wonten ing Indonesia kathah ragam kebudayaan. Salah satunggaling inggih menika upacara nyadran. Upacara nyadran yaiku pesta rakyat sing awujud bentuk rasa syukure masyarakat marang Gusti Allah amarga bumi iki bisa dadi sumbere urip. Acara manganan utawa nyadran lumrahe saben desa nduweni dina, tradisi lan panggonan sing beda-beda. Ana sing dirindak...

Puisi Sketsa Rembulan Padam

Hari gelap Dimana setengah hari berubah menjadi hitam Warna-warna terang berubah menjadi remang dan gelap Rembulan, Rembulan datang menyinari ketika hari itu datang Mengganti warna-warna remang dan gelap menjadi terang Kesunyian, Kesunyia yang mencekap kerap kali menemani Berdiri dipojok-pojok sebuah hati, tak mau pergi “Aku tahu kamu hari ini akan datang Aku tahu hari ini juga dirimu akan datang Aku menantikan walau hanya sepatah kata Tetap menunggu dibawah harapan” Angin berhembus Berhembus diantara sebuah perasaan yang terikat oleh janji Mengikat kuat melukai perasan Padam, Bulan sempurna padam, tak ada yang menggantung Tinggal perasaanku yang digantungkan Pohon Digantung diantara pepohonan nan tinggi menjulang Terikat oleh suata zat yang tidak diketahui bentuknya

Esay "Karena Sampah Sudah Menjadi Biasa"

“Apakah budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi teman hidup?” Itulah pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam benakku. Tepetnya hari ini (Selasa, 17 Juni 2014) sesudah aku mengaji di pondok pesantren di dekat rumahku. Sebut saja namanya Nisa dan Abdul (dia anak kyai). Aku melihat Nisa bermain bola di pelataran mushola. Dari kejauhan Abdul membawa makanan yang diberikan oleh ibunya. Saking gembiranya Abdul membawa plastik makanan itu dengan menaiki sepeda sambil berlenggak –lenggok mengelilingi Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren). Wusss.... dengan gaya ala Valentino Rossi. Nisa yang melihat Abdul membawa makanan itu jadi ingin memintanya. Lantas dia memanggil Abdul dengan suara yang tak karuan kerasnya, “Dul, aku minta jajananmu, Dul!” Seperti sudah mendapatkan sinyal dari kakaknya, Abdul mengayuh sepeda mendekati Nisa yang sedang bermain bola barunya di depanku. Bola itu diberikan dari salah satu Partai yang berkampanye sebelum pemilu tahun ini. Tetapi baru dibuka ...