aku tulis pada 11 Januari 2011
Langit merubah warna menjadi oranye. Burung burung
pulang. Lampu jalan bergantian menyala saling bersautan. Azhan Maghrib bergema
di sudut Kota Jakarta. Mengingatkan hamba-hamba Allah untuk inga kepada-Nya.
Aku
lempar gitar kecilku ke pojok los-los Pasar Minggu yang sudah sepi tak
berpenghuni. Hanya segelintir anak-anak pasar saja. Aku masuki lorong tempat
biasaku untuk tidur tadi malam. Ku ganti baju kotorku dengan baju muslim dan
sarung peninggalan almarhum ayahku.
Ku lari keluar untuk mengajak kawan-kawanku pergi bersembayang. Ku cari dari
los-los pasar yang kosong. Ku pergi ke masjid terdekat.
Sesudah
sholat, aku ajak temanku untuk menghitung hasil ngamen tadi siang. Aku
tergolong anak tak bisa berhitung. Maka dari itu aku ajak Cecep untuk
menghitung uangku. Kumasukan uang receh-receh itu dalam tas kecilku. Ku buka
bagian tas yang kecil. Kulihat foto ayahku. Ku menangis tanpa suara. Cecep
bertanya kepadaku.
“Zal? Kok kamu meneteskan air mata.”
“Aku teringat ayahku Cep?”
“Udah... udah... Aku juga dulu sulit menghilangkan
ingatanku, tentang ayahku.”
Ku hapus
air mataku.
Ku
keluar menuju depan pasar. Ku lihat jam yang menempel di tembok atas. Ternyata
jam sembilan lewat. Aku pergi ke biliknya Cecep. Ku temani Cecep tidur. Belum
genap satu jam ku tidur, terdengar sirine begitu keras. Cecep menarik tanganku
bermaksut untuk membangunkanku.
“Zal... zal, bangun!”
“Apa... apa...”
“Ayo ngumpet, ada razia!”
Aku dan
cecep ngumpet di toilet wanita yang bau dan gelap. Satpol PP teriak. “Keluar...
keluar” Jantungku berdebar-debar cepat. Dari dalam toilet yang bau dan gelap
aku memegang erat tangannya Cecep. Ku dengar suara gadis. “Ampun... ampun...
pak”. Dan dari jauh anak kecil menangis “Ibu... Ibu... Ibu dimana?” Ku dengar
bentakan Satpol PP “Keluar! keluar! Daripada anda sembunyi ketakutan.”
Tak terasa Adzan Subuh merasuk ke telingaku,
membangunkanku dari tidur. Oh, ternyata aku masi berada di toilet. Aku
membangunkan Cecep dan bergegas menuju Masjid.
Mentari mengintip dari gedung-gedung bertingkat. Asap
kenalpot menyelimuti Kota Jakarta. Pejalan kaki seakan musnah dari trotoar
jalan. Digantikan kuda besi berkaki karet. Anak sekolah tidak ada yang berjalan
lagi, digantikan sepeda, motor, mobil, dan angkutan umum. Huh... inikah kota
yang disebut Kota Metropolitan. Sementara klakson-klakson bergema merasuki
telingaku. Betapa rentetnya kendaraan di Kota Tua ini.
Belum makan, belum mandi, dan belum mengurusi diri
sendiri. Aku lari ke lorong los los pasar yang belum ramai pedagang dan pembeli
untuk mengambil gitar dan tas kecilku. Ku telusuri jalan, pertigaan, dan
perempatan demi mencari receh-receh dari tangan yang kasian kepadaku untuk
sekolah kelak. Dari pertigaan ku lihat
lampu yang berwarna merah, aku hampiri. Ku nyanyikan lagunya Bang Iwan Fals.
“Permisi
Pak, Andai kau izankan walau sekedar
memandang” Tak sempatku teruskan sampai akhir lagu, si supir bilang “Stop nak,
ini jatahmu.”
Kalau aku pikir-pikir Orang Jakarta tak lagi mendengar seni dari
orang pinggiran. Tak apalah, ini mungkin sudah adatnya.
Suara bel istirahat dari SD
berbunyi, kudekati SD itu. Ku lihat anak-anak seumuranku lari-larian,
bermain-mainan, dan jajan dengan asiknya. Tiba-tiba satpam penjaga sekolah
datang menghampiriku.
“Mau
apa kamu?”
Aku
kaget. “Aku ingin sekolah pak.”
“Ha,
sekolah. Sana cari uang dulu. Dasar anak gelandangan yang nakal.”
“Aku
tidak nakal pak. Aku ingin sekolah dan bermain bersama anak anak seusiaku pak.”
“Main...
main, sana pergi dan jangan pegang gerbang sekolah ini!” Suara pak satpam
dengan nada menggelegar.
Terik matahari menjadikan Kota
Jakarta semakin panas. Mengiringiku pergi meninggalkan gerbang sekolah menuju
pertigaan depan SD. Aku belum makan sesuap nasi pun hari ini. Ku mampir ke
warteg. Aku membeli nasi seharg Rp. 2000, ternyata 2000 tak ada artinya. 2000
hanya nasi saja. Kutambahi 1000, dan hanya ditambah secuil tempe goreng. Ku
berjalan meninggalkan warteg dan menuju ke pinggir jalan, bermaksud untuk
menyantap nasi bungkus hasil jerih payahku tadi. Aku melihat Cecep melamun. Aku
kageti dia.
“Yak!”
“Apa-apaan
sih, kok mengkageti aku, kaya tidak ada kerjaan lain!”
“Dah
makan belum Cep?”
“Belum,
aku lagi endak enak badan Zal.”
“Yaudah,
makan sama aku ya!”
Aku makan nasi bungkus bersama Cecep
di pinggir jalan ditemani asap kenalpot dan debu debu jalan.
Setelah itu aku teruskan mengamen
bersama Cecep. Cecep menyanyi dengan suara emasnya, sementara aku berlaga
layaknya band papan atas dengan gitar.
Hari berganti, siang menjadi sore.
Ku hentikan pekerjaanku, ku pergi ke masjid. Setelah itu aku menghitung hasilku
tadi siang. Ku bagi rata hasilnya. Sementara hari tak memberi tahu bahwa
matahari telah digusur bulan dari ufuk timur. Kota – kota meyala bak kembang
api. Ku ajak Cecep menelusuri Kota tua ini. Ku jajakan di angkringan.
Sesudah kenyang Cecep minta izin
untuk pulang. Tetapi ku masih menikmati kota, untuk menghilangkan memori-memori
yang telah berlalu. Ku dengar sirine, tapi aku abaikan saja, mungkin hanya
polisi mengejar penjahat atau orang yang melanggar lalulintas. Ku pulang ke
Pasar Minggu karena sudah malam. Ku panggil nama Cecep, tapi tak ada suara
jawabannya, mungkin sudah tidur. Ku masuki lorong tempat biasa Cecep tidur.
Tapi tidak ada batang hidungnya. Ku putari pasar, tapi tak kutemukan Cecep. Ku
teringat sirine tadi. Mungkin Cecep di razia tadi, pikirku.
“Terus
aku hidup dengan siapa?”
Ku ambil tas dan ku berlari
meninggalkan pasar, air mata bercucuran meninggalkan jejak. Kulihat anak –anak
jalanan bermain ceria. Kulangkahkan kaki ini ke menuju gerombolan anak-anak
itu. Munhkin nanti aku mendapatkan teman untuk menemani aku mencari modal untuk
sekolah kelak.
Ternyata tak seperti yang ku
pikirkan tadi, disini anak anak-anak disuruh kerja oleh preman. Aku disuruh
juga mencarikan uang untuk preman itu, tapi aku menolak. Aku ditampar. Dengan berat
hati aku terima permintaan preman tadi. Dengan sarat menyekolahkan aku.
Setelah satu hari ku tanya lagi
janjiku.
“Bos,
ini setoran hari ini.”
“Bagos,
pintar juga kamu mencari uang.”
“Tapi
janji lho, akan menyekolahkan aku.”
“Ah
tak penting, sudah tidur sana, besok cari lagi”
Kumerasa aku dirugikan. Ku lari
secepat cepatnya meninggalkan tempat ini. Sekarang aku harus kemana, pikirku
mengiringiku. Aku akan tidur di depan gerbang SD. Hatiku menuntun ke SD itu.
Aku tertidur sampai pagi. Satpam
memarahi dan mengusir aku.
“Kamu
lagi, sudah, sana pergi!” Bentaknya keras sampai guru-guru datang.
“Ada
apa ini pak?” tanya guru ke satpam.
“Ini
gelandangan tidur di depan gerbang.”
“Aku
ingin sekolah bu.”
“Sekolah
sini tak menerima anak gelandangan sepertimu” Jawab satpam
“Jaga
omonganmu Pak Satpam, yaudah kamu ikut aku ke kantor.”
“Benar
Bu?” Ku hapus air mata dan mengikuti Ibu Guru ke kantor.
Tanaganku
dipegang erat oleh ibu guru. Berjalan lurus menuju Ruangan kantor.
Betapa
senangnya. Besok aku sudah berada di sekolah ini. Aku juga diangkat menjadi
anak angkat guru itu. Cita-citaku tercapai untuk sekolah.
”Ku sadari bahwa kesuksesan berawal
dari beribu-biru halangan menghadang.”
Komentar